Pada tahun 2011, Daihatsu Motor meluncurkan minicar Mira e:S, yang menjadi sukses besar, terutama di pasar negara berkembang. Mira e:S, dengan efisiensi bahan bakar yang luar biasa – 30 kilometer per liter – dan harga yang terjangkau, memikat banyak konsumen. Namun, keberhasilan sejati mobil ini terletak pada model bisnis yang digunakan, yaitu sistem “keiretsu” Jepang yang terkenal.
Keiretsu: Model Bisnis yang Terhubung
Kosuke Shiramizu, pimpinan Daihatsu saat itu, mengungkapkan bahwa keberhasilan Mira e:S bukan hanya karena inovasi produk, tetapi juga karena pemotongan biaya yang signifikan melalui sistem keiretsu. Keiretsu adalah hubungan bisnis informal namun erat antara produsen dan pemasok yang didorong oleh kepemilikan silang dan pertukaran personel. Dengan memanfaatkan sistem ini, Daihatsu berhasil memangkas sekitar $1.000 dalam biaya pembuatan mobil.
Sistem keiretsu otomotif, yang dipelopori oleh Toyota Motor dan diadopsi secara luas oleh para pesaingnya, telah diakui di seluruh dunia pada 1980-an dan 1990-an sebagai kunci sukses Japan Inc. Keiretsu membantu menghilangkan permusuhan antara perakit dan pemasok, memungkinkan mereka untuk berbagi informasi dan menciptakan kualitas produk yang lebih baik.
Keiretsu Tidak Lagi Efektif di Era Baru
Namun, dalam dua dekade terakhir, perubahan besar terjadi di pasar otomotif global, dan sistem keiretsu mulai kehilangan relevansinya. Menurut Shiramizu, perusahaan-perusahaan seperti Daihatsu kini bersaing untuk harga dan nilai melalui mekanisme pasar, bukan pengaturan berbasis hubungan. Ia menyatakan bahwa jika Daihatsu terus mempertahankan sistem keiretsu, mereka mungkin tidak akan bertahan lama.
“Cara Toyota adalah cara berbiaya tinggi,” kata Shiramizu. “Keiretsu tidak berfungsi lagi. Jika kita tetap melakukannya, Daihatsu tidak akan bertahan. Toyota mungkin juga menghadapi nasib yang sama.”
Perubahan dalam Lanskap Kompetitif
Dua faktor besar yang mengubah lanskap kompetitif adalah perkembangan teknologi dan kemunculan pasar negara berkembang.
Persaingan dari Saingan Barat
Pertama, pesaing Barat telah berhasil menutup kesenjangan dengan Jepang. Dengan kemajuan teknologi, mobil menjadi lebih mudah untuk dirancang dan diproduksi, berfokus lebih pada kontrol elektronik dan efisiensi daripada mekanisme kompleks. Kini, persaingan bergeser ke siapa yang dapat menawarkan lebih banyak nilai kepada pelanggan: penghematan bahan bakar tertinggi, desain menarik, dan harga terendah.
Pasar Negara Berkembang
Perubahan lainnya datang dari negara-negara berkembang. Negara-negara ini, seperti Brasil, Rusia, India, Cina, dan Indonesia, kini membeli sebagian besar mobil di dunia. Mereka akan menyumbang dua pertiga dari permintaan global pada tahun 2020. Bagi Daihatsu, yang lebih fokus pada pasar kelas bawah di Jepang dan Asia Tenggara, sistem keiretsu justru menjadi hambatan.
Sistem keiretsu memaksa Daihatsu untuk membeli komponen dari pemasok Toyota, yang memiliki standar kualitas tinggi. Namun, standar tersebut sering kali terlalu tinggi untuk pasar yang lebih mengutamakan harga dibandingkan daya tahan. Konsumen di Indonesia dan Malaysia, misalnya, lebih suka suku cadang yang lebih murah dan mudah diganti, daripada mobil dengan daya tahan panjang.
Menghadapi Tantangan Baru
Dengan keinginan untuk menyesuaikan diri dengan pasar yang berkembang, Daihatsu menghadapi dilema: standar kualitas tinggi yang ditetapkan oleh Toyota tidak sesuai dengan kebutuhan pasar negara berkembang yang lebih fokus pada harga dan kepraktisan. Shiramizu bertanya, “Apakah kita membutuhkan suku cadang dan mobil yang tahan terhadap panas gurun di Arizona?” Menghadapi tantangan ini, Daihatsu harus beradaptasi untuk tetap kompetitif di pasar global yang semakin berubah.